Tepat dua hari yang lalu, sehabis melepas lelah sejenak
setelah pulang dari Jakarta untuk menemani kakak, saya melanjutkan aktifitas
dengan mengikuti rapat evaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan sabtu kemarin.
Bergegas mandi, shalat ashar, dan menuju tempat berteduh di tepi jalan untuk
menunggu angkot ke kampus. Ada dua pilihan jalur angkot untuk menuju pintu
depan kampus. Kita dapat memilih jalur ciampea dan kampus dalam. Karena
sulitnya mendapati angkot kampus dalam, maka saya memilih angkot dengan jalur
ciampea. Lumayan, tidak perlu menunggu lama. Beberapa menit setelah menunggu,
angkot biru tampak reot menghampiriku dengan cepat. Naluri supirnya luar biasa.
Sejauh ini tak ada yang luar biasa, naik dan duduk pada tempat duduk berhadapan
dengan penumpang dan membelakangi supir. Di dalam angkot yang mungkin membawa
saya selama 15 menit untuk sampai ke kampus, saya memperhatikan para penumpang.
Semuanya lelaki dan umurnya sekitar 50an ke atas. Perhatianku satu persatu
kepada mereka, dan saya merenungi beberapa hal berikut.
Bapak dengan sandal warna orange, dengan ujung kukunya tampak lecet. Umurnya sekitar 60
tahun. Tampak seperti pekerja bangunan, karena tangannya masih kelihatan ada
tanah dan terlihat kurang bersih. Tampak
lesu dan tak bergairah. Saya berandai ketika saya diposisinya sekarang, dengan
umur yang tidak muda, masih bekerja keras dan mungkin tidak tahu apa bisa
memberi makan keluarganya hari ini apa tidak. Saya tidak bisa membayangkan
bagaimana hidup bapak tadi sewaktu muda, apakah ada usaha yang tidak maksimal,
atau memang telah menyia-nyiakan banyak waktu untuk hal tak berguna?
“Waktu laksana pedang. Jika engkau tidak menggunakannya, maka ia yang malah akan menebasmu. Dan dirimu jika tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam hal yang sia-sia.” (Ibnu Qayyim)
Bapak dengan baju agak lusuh, melihatku dengan agak aneh.
Umurnya sekitar 55 tahun. Tidak jauh keadaannya dengan bapak tadi, menggunakan
sandal dengan merk yang sama, namun dengan warna berbeda. Biru. Namun beliau
juga membisu sama halnya dengan bapak tadi. Namun pekerjaannya mungkin adalah
seorang pekerja lepas. Saya memperhatikan, apakah dalam diamnya dia masih
mengingat siapakah yang mengatur alur nafasnya hingga saat ini? Apakah karena
keadaanya seperti ini, miskin harta, akan jauh dari Allah? Akan jauh dari
menyebut asmaNya?
“Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian.” (Q.S al-Baqarah:152)
Walau harta tak
mampu kita dapatkan di dunia, minimal kita masih bisa menikmati harta akhirat,
membelinya dengan Iman yang kokoh dan selalu mengingatNya dikala lapang.
Bapak yang menjadi supir angkot tersebut. Dengan sigap mengendalikan angkot tua menuju
kampus. Dengan melihat ke depan, menginjak panel gas dan rem dengan teratur,
memainkan tangan pada setir dan memindahkan perseneling untuk mengatur
kecepatan angkot pun dibuatnya mudah. Pelajaran yang dapat diambil adalah
bagaimana kita sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, dapat dengan tepat
mengendalikan diri ketika berbagai masalah yang datang. Ini bukan masalah pada
problem yang akan kita hadapi, tetapi bagaimana respon dan sikap kita
menghadapi masalah tersebut secara bijak
dan tepat, dan pastinya bernilai ibadah kepada Allah. Dengan memanfaatkan
shalat dan sabar sebagai penolong
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”.(Al-Baqarah: 45-46)
dan bersyukur atas semua cobaan yang telah dilalui, meski
hasilnya itu buruk untuk kita. Buruk untuk kita, belum tentu buruk untuk Allah.
Lagipula, jika kita bersyukur apapun
keadaan yang terjadi pada kita sekarang, insya Allah nikmat yang diberikan
kepada kita akan bertambah, walau nikmat tersebut kelak terakumulasi di akhirat
nanti.
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q.S.Ibrahim:7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar